- Back to Home »
- Berita , Inspired by.. , Jalan-jalan , Liputan , Memories , My Stories , Tentang Mereka »
- Gedung Tinggi yang Terlupakan
Posted by : Fauziah Cahyani
Rabu, 03 Juli 2013
Gedung Juang 45 Tambun, Bekasi |
Jas Merah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
Begitulah semboyan yang diucapkan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno
dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966. Tentu terdapat makna
yang sangat dalam pada kalimat itu.
Indonesia memiliki momen-momen bersejarah yang sangat banyak
pada masanya. Momen-momen bersejarah itu biasanya diwujudkan dalam bentuk
bangunan atau monumen. Dari Sabang sampai Merauke, dapat ditemukan banyak
sekali bangunan, monument, serta benda-benda bersejarah peninggalan masa lalu.
Seperti halnya daerah lain di Indonesia, Bekasi yang
letaknya berdampingan dengan Jakarta memiliki sejarah perjuangan melawan
penjajah yang tak kalah heroik. Perjuangan rakyat Bekasi sempat diabadikan
dalam puisi terkenal karya Chairil Anwar yang berjudul Karawang-Bekasi.
KARAWANG-BEKASI
karya: Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Betapa heroiknya perjuangan rakyat Bekasi melawan penjajah
sangat terasa pada penggalan bait demi bait dalam puisi tersebut. Untuk kembali
mengenang momen bersejarah itu, Bekasi memiliki beberapa bangunan dan monumen
bersejarah. Salah satunya adalah Gedung Tinggi atau yang saat ini lebih dikenal
dengan Gedung Juang 45.
Gedung Juang 45 terletak di jalan Sultan Hasanudin, dekat Pasar
Tambun dan Stasiun kereta api Tambun. Bangunan berarsitektur neoklasik ini
dibangun oleh tuan tanah Kow Tjing Kie pada tahun 1910. Sudah lebih dari satu
abad.
Kondisi bangunannya saat ini sangat memprihatinkan. Tak
terurus, kotor, dan bau. Ya, bau kotoran kelelawar yang menghuni gedung itu
sangat menyengat. Bahkan baunya tercium dari luar gedung. Bangunan bersejarah
yang menjadi sarang ribuan kelelawar ini dibiarkan begitu saja. Layaknya gedung
mati. Tak berpenghuni.
Saat saya berkunjung ke Gedung Juang 45 ini, saya bertemu
dengan Jonly, keturunan veteran yang sekarang tinggal di salah satu bangunan di
area Gedung Juang 45. Ia dapat menceritakan sedikit sejarah tentang Gedung
Juang 45 ini pada maasanya.
“Gedung Juang ini dulu di bangun di masa penjajahan Belanda.
Gedung Juang ini dulu tempat para orang tua kita, nenek kita untuk melakukan
perlawanan terhadap Belanda. Nah itulah yang disebut dengan veteran ataupun
pejuang untuk melawan Belanda. Dan di Gedung Juang ini dulu salah satu tempat
perkumpulan dari kota, dari alun-alun kota sampai ke sini para orang tua kita
dulu bersiap melakukan perlawanan. Apakah jalan kaki ke Bogor atau ke
Karawang.” Cerita Jonly.
Namun sayang sekali. Saat ini kondisi bangunan bersejarah
ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitar dan Pemerintah Kabupaten
Bekasi. Bahkan area lahan Gedung Juang 45 saat ini difungsikan menjadi Kantor
Dinas Pemadam Kebakaran, Laboratorium Kesehatan Daerah, sampai markas
organisasi masyarakat Pemuda Panca Marga.
Saat sore hari tiba, kita bisa melihat ribuan bahkan jutaan
kelelawar menyumbul keluar dari dalam gedung melalui jendela pada bagian puncak
gedung. Sangat banyak. Melihat banyaknya kelelawar itu, tidak heran jika bau
yang menguar dari dalam gedung sangat menyengat. Untuk membersihkan kotoran
kelelawar itu ada seorang setiap bulannya bertugas membersihkan. Menurut
Santoso, salah satu pegawai Dinas Kebakaran, dalam sekali pembersihan bisa terkumpul
enam karung kotoran kelelawar.
Tak ada campur tangan pemerintah setempat untuk membersihkan
atau bahkan mengusir kelelawar-kelelawar itu. Pemerintah hanya melakukan
perawatan setahun sekali yaitu pengecatan gedung dan tidak ada renovasi besar
yang dilakukan. Mungkin karena itu adalah bangunan bersejarah, jadi renovasi
akan mengubah nilai sejarahnya. Banyak jendela yang sudah pecah, tembok yang
dicorat-coret, dan dinding yang retak.
Ada hal menarik jika kita berkunjung ke Gedung Juang 45 saat
akhir pekan. Kita dapat menyaksikan anak-anak remaja putri berlatih menari
tarian tradisional. Mereka adalah anggota ormas Pemuda Panca Marga. Dengan
memanfaatkan teras Gedung Juang 45 mereka berlatih tari Jaipong atau Saman.
Sangat terlihat bahwa mereka sama sekali tidak merasa
terganggu dengan bau kotoran kelelawar yang menyengat. Seperti itu adalah sesuatu
yang tidak aneh lagi bagi mereka. Bahkan mereka tidak merasa jijik saat makan
di area Gedung Juang 45 itu.
Sempat tersiar kabar bahwa Gedung Juang 45 akan dijadikan
cagar budaya dan museum namun sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari
Pemerintah Kabupaten Bekasi. Teti Junaeti selaku Kepala Seksi Bidang
Pengembangan Kesenian Kabupaten menjelaskan mengapa belum ada tindak lanjut
dari pemerintah soal Gedung Juang 45 ini.
“Itu baru hasil workshop eh sarasehan. Dari hasil sarasehan
kita kumpulkan hasilnya. Salah satunya ya itu Gedung Juang. Masyarakat inginnya
menjadi pusat studi kebudayaan Kabupaten Bekasi. tindak lanjut belum. Mungkin
yang diinginkan masyarakat Bekasi pusat studi kebudayaan di Kabupaten Bekasi.
orang kan masih bingung ya kalau misalnya nyari-nyari buku tentang Kabupaten
Bekasi kan itu baru milik perorangan. Yang merasa punya buku. Perpustakaan
daerah juga belum lengkap. Jadi mungkin di sana maunya ada peninggalan, artefak
kah, mungkin kalau museum ada, ada tempat pagelaran seni. Jadi orang kalau mau
belajar budaya Bekasi bisa ke sana.” ungkap Teti saat ditemui di Kantor
Pemerintah Kabupaten Bekasi.
Wacana hanya akan menjadi sebuah wacana jika tidak ada
tindak lanjut dari berbagai pihak seperti masrayakat, pemerintah, sampai
investor.
Teti juga menjelaskan bahwa tindak lanjut untuk menjadikan
Gedung Juang 45 sebagai cagar budaya berada di tangan masyarakat dan pihak
pemerintah hanya mengakomodir.
“Ya mungkin kalau masyarakatnya keras menyuarakan. Kita
hanya mengakomodir. Kita pemerintah daerah kan banyak sekali kepentingan. Ini
merasa penting, ini penting. Karena yang sekarang kan infrastruktur ya semuanya
merujuk ke ekonomi yang lebih baik.” Jelas Teti.
Lalu bagaimana harapan masyarakat Bekasi itu sendiri
terhadap Gedung Juang 45? Memang ada yang berharap untuk Gedung itu dirawat dan
diperhatikan pemerintah, namun ada juga yang acuh terhadapnya. Seperti seorang
ibu pemilik warung yang tak jauh dari area Gedung Juangg 45. “Say amah gak
mikirin Gedung Juang! Mikirinnya harga pada naik!.” Begitu katanya.
Sedangkan warga yang masih mementingkan nilai sejarah pada
gedung tua itu menaruh harapan yang besar agar wacana pemerintah setempat dapat
secepatnya terealisasikan.
“Kalau bisa sih dibagusin udah sayang banget. Ya dijagalah.
Tolonglah diperhatikan sama pemerintah. Itu aja. Gak kurang gak lebih.
Perhatikan jangan jadi gedung mati. Itukan Gedung juang, tempat perjuangan.”
Ahmad, salah satu warga berharap.
Jika saja semua pihak serius akan wacana menjadikan Gedung
Juang 45 ini sebagai cagar budaya, pasti Gedung Juang 45 akan menjadi tempat
yang sangat menguntungkan. Baik dari fungsinya sebagai tempat kebudayaan yang
mempertahankan sejarah sampai kondisi ekonomi sekitar Gedung Juang yang membaik
karena banyaknya masyarakat yang berkunjung.
Bangunan dan benda-benda bersejarah adalah salah satu hal
penting yang dapat mengingatkan kita akan perjuangan para pahlawan dalam
upayanya memerdekakan Indonesia. Tanpa mereka, mungkin saat ini kita sebagai
bangsa Indonesia masih dijajah oleh negara lain.