Popular Post

Posted by : Fauziah Cahyani Kamis, 02 Mei 2013



Minggu sibuk. Sangat sibuk. Sejak 22 April 2013 hingga 26 April 2013, seluruh mahasiswa Universitas Islam “45” (Unisma) Bekasi melaksanakan Ujian Tengah Semester (UTS). Entah memang benar sibuk atau hanya perasaanku saja. Maksudku, aku melihat mereka sibuk. Apalagi kakak-kakak seniorku yang tengah mengurus proposal skripsi untuk disidangkan Selasa (30/04) nanti.

Bolak-balik menghadap dosen pembimbing masing-masing dengan membawa draft yang sudah mengalami revisi berkali-kali. Bolak-balik ke perpustakaan untuk meminjam buku. Bolak-balik menghampiri mas Arya, salah satu staf FKSB (Fakultas Komunikasi Sastra dan Bahasa), hanya untuk menge-print beberapa lembar kertas. Bolak-balik ke DALA untuk mengurus pembayaran. Dan masih banyak bolak-balik yang lain.

Lalu bagaimana denganku? Bukankah aku juga sama seperti mereka? Mengurus skripsi. Benar, aku yang masih semester enam sudah mengambil mata kuliah Seminar dan Skripsi bersama dua teman seangkatanku, Jessi dan Dela. Jangan tanya mengapa. Mungkin sekarang kami bingung harus menjawab apa.

Dibandingkan yang lain, aku adalah yang paling jarang bertemu dosen pembimbing untuk membahas proposal skripsi. Ada saja yang menghalanginya. Mulai dari liputan untuk majalah kampus sampai rasa malas.

Proposal skripsi yang berisi BAB I, BAB II, dan BAB III itu harus dikumpulkan paling lambat Jumat (26/04) di sekretariat FKSB.

Hari itu, Kamis, 25 April 2013..
Mahasiswa Jurnalistik Ilmu Komunikasi melaksanakan UTS terakhir karena Jumat sudah tidak ada mata kuliah yang diujikan. Ujian pertama yaitu mata kuliah Jurnalistik Sastra pukul 7.30. Kami sudah mengetahui sifat ujiannya Take Home tapi kami harus tetap masuk pagi untuk mengambil soal ujian.

Karena terburu-buru, aku sampai melupakan jaket almamaterku. Aku masih beruntung karena ujian pertama tidak dilaksanakan di kelas. Jaket almamater adalah salah satu barang yang harus dibawa dan digunakan saat ujian berlangsung. Kalau tidak memakainya, kau harus meminta surat pernyataan tidak membawa jaket almamater dari pihak DALA. Dan itu sangat merepotkan.

Aku bisa selamat di ujian pertama. Tapi tidak di ujian kedua, mata kuliah Jurnalistik Investigasi. Awalnya aku lupa kalau ada ujian lagi. Aku fikir setelah Jurnalistik Sastra, tidak ada ujian lagi.

Pukul 10.00 ujian Jurnalistik Investigasi dimulai. Aku yang tidak mau repot mengurus surat pernyataan ke pihak DALA berusaha meminjam jaket almamater dari teman.

“Lili pinjem almet dong.” Pintaku pada salah satu teman.

“Yah udah dipinjem bang Agung, beb.” –Beb adalah sebutan akrab bagi kami di angkatan 2010.

“Bang Agung ujian jam berapa? Pinjem almet dong.” Aku bertanya pada seniorku yang memakai kacamata itu.

“Sekarang, Ziah..” jawabnya.

“Yaaahh..” aku kecewa.

Saat itu suasana laboratorium Ilmu Komunikasi sangat sepi. Ah, benar. Mereka semua sedang ujian juga. Tidak ada yang bisa aku pinjami lagi. Akhirnya tanpa jaket almamater, aku pun pergi menuju ruang ujian bersama empat temanku yang lain. Jessi, Anggi, Christin, dan Adit. Sementara Supri sudah berada di ruang ujian.

Lima menit pertama aku masih aman sampai pak Zul, dosen Jurnalistik Investigasi, bertanya pada Adit.

“Dit, mana jaketmu?” 

“Oh, ada pak.” Jawab Adit sembari mengambil jaket almamaternya dari dalam tas lalu memakainya.

“Fauzi mana?” kini pak Zul bertanya padaku.

“Oh? Nggak bawa, pak. Ketinggalan..” jawabku sambil senyam-senyum tak jelas.

“Lah gimana? Harus pakai surat ya?” Tanya pak Zul entah kepada siapa.

“Tadi ujian pertama gimana?” sekarang ibu pengawas yang bertanya.

Take home, bu.” Jawabku.

“Ujian kedua?” tanyanya lagi.

“Ini, bu.” Jawabku singkat.

“Yaudah ke sana (DALA) dulu ya minta surat.”

Huft, aku pun menghela nafas.

“Ayo Fauzi cepet.” Pak Zul menimpali.

Aku pun keluar ruangan meninggalkan lembar jawaban yang sudah aku isi mungkin sekitar lima atau enam baris.

Jarak ruang ujian yang berada di H103 menurtku lumayan jauh dengan gedung rektorat, tempat DALA berada. Sekitar lima sampai sepuluh menit waktu berhargaku untuk mengerjakan ujian terbuang. Memang salahku sendiri. Untunglah aku dapat menyelesaikan semua soal yang ada.

Karena keesokan hari adalah deadline pengumpulan proposal skripsi, usai ujian aku pun pulang cepat untuk mengerjakannya di kontrakan. Sungguh tidak konsentrasi jika mengerjakan di kampus.

Sesampainya di kontrakanku yang berada di Kampung Utan – Cibitung, aku pun berniat langsung mengerjakan proposal skripsiku. Tapi, aku terlebih dahulu mengecek ponselku. Awalnya hanya ingin melihat lini masa di beberapa situs jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook, tapi tumben sekali koneksi internet sangat cepat sehingga aku beralih melihat-lihat video KPOP (Korean POP) di situs Youtube. Aku semakin betah dengan ponselku dan mulai malas mengerjakan skripsi.

Sekitar pukul delapan malam, aku baru bisa benar-benar mengerjakan skripsiku. Dengan bermodal buku-buku yang aku pinjam di laboratorium dan koneksi internet, aku mengerjakan BAB II dan BAB III yang belum selesai aku garap.

Sampai tengah malam, proposal skripsiku belum rampung juga. Untuk menghilangkan rasa kantuk, aku membuat secangkir kopi susu. Sementara kakakku sudah tertidur dengan lelap. Ya, aku tinggal di kontrakan tiga petak ini hanya berdua dengan kakak perempuanku.

Sesekali aku memainkan game yang ada di ponselku kalau sudah sangat penat dan pusing dengan layar laptop.

Tiba-tiba saja kakakku terbangun dan berucap dengan suaranya yang masih terdengar mengantuk.

“Kamu nggak tidur, yah?”

Aku hanya menggeleng untuk menjawabnya. Mungkin saat itu pukul tiga pagi. Aku tidak begitu mengingatnya.

Hingga pagi datang, aku sama sekali belum memejamkan mataku. Proposal skripsiku belum selesai. Sampai kakakku sudah berangkat bekerja dan matahari semakin meninggi, proposal skripsiku masih belum selesai.

Dengan perjuangan yang sangat keras, akhirnya selesai juga sekitar pukul 12 siang.

Pukul 13.00 aku sudah meninggalkan kontrakan menuju kampus untuk menyerakan proposal skripsi ini terlebih dahulu kepada dosen pembimbingku.

Aku sudah tidak peduli dengan tampangku yang sangat tidak karuan. Sekeliling mataku lebih hitam dibandingkan hari biasanya dan pipiku menjadi sangat tembam.

Sesampainya di laboratorium Ilmu Komunikasi, aku langsung menghampiri dosen pembimbingku yang kebetulan sedang membimbing salah satu seniorku.

“Pak Aep, saya print dulu ya pak..” ucapku ketika menghampiri dosen pembimbingku, bapak Saepudin.

“Oh? Udah? Sampe BAB III?” tanyanya bingung.

“Udah, pak.”

“Oh yaudah print aja dulu.” Ucapnya sambil tersenyum ke entah yang tak bisa aku deskripsikan.

Di dalam ruangan mas Arya, tempat aku kan menge-print, aku mendapati Dela juga sedang menge-print.

“Udah, Del?” tanyaku to the point.

“Hmm nggak tau nih. Ini mau aku kasih liat lagi ke bu Winda.” –bu Winda adalah dosen pembimbing Dela dan merupakan salah satu dosen Ilmu Komunikasi.

“Ohh… Duh, ngantuk banget Del. Nggak tidur sama sekali aku tadi malem..” aku jadi curhat kepada Dela.

“Ya ampun.. Mukamu bengep, Zi.” Jujur Dela.

Hahaha. Ingin tertawa rasanya mendengar Dela berkata seperti itu. Bengep, seperti korban kekerasan?

Setelah selesai menge-print, aku harus menunggu giliran bimbingan. Karena pak Aep sedang membimbing senior-seniorku yang lain.

Aku bersama Dela dan Jessi berada di ruang laboratorium multimedia. Aku menunggu giliran bimbingan. Jessi dan Dela mengerjakan proposal skripsi yang sudah direvisi. Di ruangan itu, kami bertiga saling mengungkapkan kesulitan dan kecemasan masing-masing.

“Eh eh jadi gimana?” Jessi yang memulai bertanya.

“Duh, aku ini paling parah. Parah banget pokoknya.” Ucap Dela

“Parahan aku, Del.” Aku menimpali.

“Aku, Zi. Kalian nggak tau ceritanya sih..” Dela tak mau kalah.

“Yaudah yaudah cerita satu-satu.” Jessi menengahi. “Kalian tau nggak sih? Tadi tuh pas bimbingan aku disuruh buat ikut sidang seminar susulan. Soalnya ini yang di-revisi masih banyak banget.” Lanjut Jessi.

Dela pun mengungkapkan masalahnya yang memang serius.

“Terus kamu, Zi?” Tanya Dela.

“Nih ya, ini tuh BAB II sama BAB III sama sekali belum diliat sama pak Aep. Jadi udah pasti banyak yang di-revisi.”

Kami pun terdiam dengan pikiran masing-masing.

~

Tiba waktunya aku berhadapan dengan dosen pembimbingku. Dan aku pun menyerahkan draft proposal aku kerjakan semalam suntuk itu.

“Ziah.. Ziah.. kamu ini kemana aja nggak pernah bimbingan?” tanyanya langsung. “Terus ini udah selesai sampai BAB III?” tanyanya lagi.

“Udah, pak.”

“Dapet berapa halaman?”

“Cuma 30an sih pak.”

“Cuma 30an?” ulangnya dengan nada bertanya yang heran.

“Iya, pak. Emang harusnya berapa pak?” tanyaku.

“Yaa nggak ada aturan harus berapa-berapanya sih. Tapi kan…” beliau menggantung kalimatnya. “Udahlah kamu ikut sidang susulan aja ya sama Arisanto? Biar kamu lebih siap.”
“Yahh tapi pak..”

“Kalo maksain kamu nanti bisa dibantai. Jangankan sama penguji lain. Saya juga bisa bantai kamu nanti.”

“Yah yaudah deh pak. Tapi itu susulannya kapan, pak?”

“Yaa belum tau. Mungkin minggu-minggu ini, bulan depan, atau mungkin tahun depan.”
“Waduhh jangan tahun depan pak.” Protesku.

~

Bukan cuma aku. Jessi pun akhirnya akan mengikuti siding susulan. Sementara Dela dan kakak-kakak seniorku yang lain akan sidang Selasa (30/04) mendatang.

Pukul lima sore suasana laboratorium ilkom masih pikuk. Yang lain sibuk mengurus berkas-berkas yang harus dikumpulkan. Bahkan ada yang masih mengerjakan revisi. Aku? Menebus tidurku yang hilang sejak malam tadi di laboratorium multimedia.



NB: Sekali dayung, dua, tiga pulau terlampaui. Sebenernya ini tulisan buat UTS Jurnalistik Sastra, tapi nggak apa lah ya diposting di sini ^^

{ 5 Comment... read them below or Comment }

  1. Semangaat, kata org jepang sih ganbatte kudasai.
    eh ziah jepang lebih kece loh dr korea :p

    BalasHapus
  2. dua-duanya keren. aku suka dua-duanya kok.. :D

    BalasHapus
  3. ziah doain aku yaaak , pengen S2 k luar negeri lg nyari beasiswa.
    Mau ambil ilmu komunikasi :3

    BalasHapus
  4. Wow.. pasti aku doain :D
    kok bisa tertarik sama komunikasi? :D

    BalasHapus
  5. ilmu komunikasi ituu ilmu yang bisa mengubah dunia mengubah hidup jadi lebih indah, bisa berkarya untuk Indonesia tanpa harus dengan dahi berkerut, "Change your words, change your world" komunikasi itu the power of words :D

    BalasHapus

- Copyright © My Precious Life - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -